Cerita misteri sawan mayit
#Sawan_Mayit
______________________
Adzan Magrib baru saja berkumandang melalui corong speaker menara masjid, di satu rumah terdengar tangisan anak dengan suara serak parau yang sesekali menjerit histeris.
"Mas, gimana ini? Kumala setiap menjelang magrib pasti rewel, nangis bahkan mengamuk,"
ucap Laras pada suaminya, Hanung.
"Entahlah, aku juga bingung. Sejak kematian Dewi tempo hari, Kumala seperti orang kerasukan. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di teras rumah seperti sedang menunggu seseorang, juga apabila menjelang tengah malam Kumala menangis dengan ekspresi wajah ketakutan memandang sudut kamar," sahut Hanung.
Lelaki tiga puluh empat tahun itu tampak murung, ia hanya bisa meremas rambut di kepalanya untuk menghilangkan rasa pusing akibat nyaris tak beristirahat selama seharian. Itu adalah malam ketiga ketika sepasang suami istri itu hampir selalu terbangun saat malam hari akibat anak balita mereka yang rewel.
Kumala yang masih balita tiba-tiba rewel pada waktu-waktu tertentu, bocah berusia empat tahun itu seringkali hanya memandang pada satu sudut rumah, geming kadangkala bergumam sendiri serta tertawa lebar tanpa sebab yang jelas.
Sejenak suasana hening, Kumala baru saja terlelap pada pukul dua dini hari, setelah sedari magrib bocah itu terus menangis. Hanung dan Laras memanfaatkan keadaan untuk merebahkan badan, mata mereka terlihat lelah dengan kantung mata membengkak, terlebih Laras yang memang lebih banyak menggendong Kumala, ia merasakan pegal dan nyeri pada bahunya.
______________________
"Hihihi. Mbak Dewi, nanti main kesini lagi, ya."
Terdengar suara bocah tertawa dan berbicara, Laras yang saat itu baru terbangun segera meraba ranjang tempat ia menidurkan Kumala.
"Mas ...mas! Kumala ga ada, tadi aku dengar suaranya kaya di depan rumah,"
ujar Laras pada Hanung, suaminya pun segera terbangun dan menyalakan lampu. Matanya menyapu seluruh penjuru kamar, mencari keberadaan putrinya.
"Mbak Dewi, jangan pergi dulu,"
ujar Kumala, sesaat bocah itu diam lalu menangis sejadi-jadinya.
Hanung dan Laras berlari menghampiri putrinya yang seorang diri duduk selonjoran di teras rumah.
"Nduk( sapaan untuk anak perempuan), kamu bicara siapa?"
tanya Laras pada Kumala, namun bocah itu hanya diam, sesekali Kumala melambaikan tangan sembari menatap halaman rumah yang gelap.
"Kumala, kamu kenapa to, nduk?"
Hanung memeluk tubuh Kumala dan mengusap rambut putrinya dengan lembut, tapi Kumala tetap membisu tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan.
"Mas, ayo masuk. Bulu kudukku merinding, apa mas juga mencium aroma kembang setaman yang tiba-tiba semerbak ini?"
ucap Laras, ia segera masuk menggendong Kumala sedangkan Hanung masih berdiri di teras rumah mengamati keadaan sekitarnya, ia merasakan desiran angin yang tak biasa menerpa ke arahnya.
Pandangan Hanung beralih pada sebuah benda berwarna putih, seperti sebuah tali dari kain yang tergeletak di halaman rumah.
"Hah, ini apa?! Bukankah ini yang tadi di mainkan Kumala? bentuknya kok seperti tali pocong." Gumam Hanung seorang diri.
____________________________
"Assalamualaikum, Nung. Kok melamun?"
Sapa seseorang yang perlahan berjalan mendekati. Hanung tak serta merta menjawab salam itu, ia diam sambil menunggu seseorang itu benar-benar dekat.
"Wa'alaikumusalam. Mbah Jati, habis subuhan dari masjid ya? Monggo pinarak dulu (mari silakan mampir dulu)," sahut Hanung menyambut Mbah jati, pria tua yang biasa jadi muadzin di masjid tak jauh dari rumahnya.
"Gini Mbah, si Kumala baru-baru ini rewel, suka menangis dan mengamuk pada waktu malam hari menjelang magrib bahkan sampai lewat tengah malam. Dia selalu menyebut si Dewi, tetangga kita yang baru saja meninggal empat hari lalu." Hanung menjelaskan kerisauannya pada Mbah jati.
Mendengar hal itu Mbah jati hanya mengangguk, ia diam dan membaca istighfar dengan suara pelan nyaris tak terdengar.
"Nung, kata orang tua kita dulu apa yang di alami Kumala itu biasanya di sebut Sawan Mayit, penyebabnya bisa macam-macam mungkin karena si Kumala dekat dengan Dewi, karena Dewi juga sering bantu momong Kumala. Bocah kecil itu jiwanya suci, ia masih bisa merasakan hal ghaib yang muncul, mungkin dia tau kalau Dewi masih sering mengunjunginya, atau melihat Dewi tersiksa di alam sana,"
Mbah Jati coba menerangkan.
"Oh iya, Mbah. Tadi saya menemukan benda ini di depan pohon nangka, ini apa ya, Mbah?'
tanya Hanung sekali lagi sambil memberikan tali kain berwarna putih.
"Astaghfirullah, ini tali kafan! Jangan-jangan pas ngubur jenazah Dewi, tali pocongnya kurang atau tidak lengkap,"
Mbah Terperanjat melihat benda yang ditunjukkan Hanung padanya.
"Waduh lalu gimana, Mbah? Apa kita harus bilang sama Andri bahwa tali pocong almarhumah istrinya belum lengkap? Takutnya nanti beliau malah salah sangka, apalagi rumahnya cuma samping rumah saya."
Hanung terlihat semakin bingung.
"Simpan saja dulu, besok kita musyawarahkan. Jika memang proses penguburannya belum sempurna besok minta pendapat pak Rt, apa perlu di bongkar lagi makamnya,"
sahut Mbah jati.
_______________________
Berada di dalam kamar, Laras menghadapi situasi yang mencekam.
Kreet! Kreet!
Daun jendela bergerak ke kiri kanan,
Laras memandang heran karena jendela yang tadinya terkunci rapat kini bergerak dengan sendiri, tak jauh dari jendela tampak putrinya Kumala sedang bermain dengan boneka.
Wuuush!
Sesosok bayangan putih tiba-tiba melayang lalu berhenti tepat di depan jendela.
"Kumala, kemari! Cepat, nak!
Teriak Laras, tangannya dengan sigap meraih dan mendekap Kumala, dapat ia rasakan sosok itu menatap tajam dengan wajah menyeringai, dibarengi dengan aroma anyir menusuk hidung.
Sosok menyeramkan menyerupai wujud Dewi yang telah meninggal itu menjulurkan tangannya, seakan ingin menyeret tubuh Kumala yang ada dalam dekapan Laras.
"Aaaaaakh! Mas Hanung, toloooong!"
Jeritan dari dalam kamar, suara Laras terdengar parau seperti orang yang sedang ketakutan. Segera Hanung berlari menunju kamar, di ikuti oleh Mbah jati untuk memeriksa apa yang terjadi.
"Mas, aku takut mas. ku kira Kumala bermain sendirian di lantai kamar, dia terus tertawa sambil memandang jendela. Aku memalingkan wajah untuk memastikan tak ada apapun, tapi justru melihat Dewi berdiri di balik jendela, ia tersenyum menyeringai ke arah Kumala. Sangat menyeramkan, wajah Dewi terlihat pucat mengelupas, rambut panjang yang terurai, Serta kuku jari tangannya hitam memanjang,"
Ujar Laras ketakutan, nafasnya ngos-ngosan, ia terus memandangi jendela tempat ia melihat sosok hantu mirip Dewi, tetangganya yang baru beberapa hari meninggal.
"Cepat ambilkan air putih,"
ujar Mbah Jati, pria sepuh itu mendekati Kumala yang tak henti tertawa cekikikan setelah menangis hebat.
"Sempurnakan kepulanganku! Sempurnakan!"
Teriak bocah itu meronta, tanganya tampak kaku seperti menggenggam, matanya melotot menatap Mbah Jati yang duduk berusaha meminumkan air putih yang telah ia tiup dengan doa-doa.
"Aaargh! Awas kau Laras, ku bunuh kauuu!"
"Aaaaaakh, panaaaas!"
Kumala berteriak keras lalu tubuhnya lemas, Laras yang memandang putrinya tiba-tiba merasa sangat ketakutan, dia lupa bahwa semasa Dewi hidup mereka justru bermusuhan tanpa tegur sapa nyaris tiga tahun lamanya.
________________________________
_________________
Comments
Post a Comment