CERITA HORROR KKN DESA PENARI
Cerita ini terbagi menjadi dua perspektif dari dua tokoh yang berbeda yaitu dari sudut pandang Widya dan sudut pandang Nur. Widya dan Nur adalah dua tokoh yang terlibat dalam kisah tersebut. Jika bingung harus membaca versi yang mana, maka semua versi harus dibaca dengan urutan membaca versi dari tokoh Widya terlebih dahulu, kemudian versi Nur karna versi Nur yang menjadi pelengkap cerita tersebut. Percakapan para tokoh di thread ini menggunakan bahasa jawa namun sang penulis juga menyertakan terjemahan bahasa indonesianya. Berikut rangkuman dari cerita KKN di Desa Penari.
Cerita berawal dari sekelompok Cerita berawal dari sekelompok mahasiswa yaitu Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu, dan Anton yang melakukan kegiatan KKN (Kerja Kuliah Nyata) selama 6 minggu pada akhir tahun 2009. Ayu yang menemukan lokasi di mana kelak mereka akan melakukan KKN yaitu sebuah desa di hutan Alas D**** yang terletak di kota B daerah timur provinsi Jawa Timur. Menurut Ayu desa tersebut masih sangat alami sehingga sangat cocok untuk proker mereka, dan juga kebetulan kakak laki-laki Ayu, Mas Ilham kenal dengan lurah setempat yaitu Pak Prabu. Ayu dan Nur ditemani Mas Ilham ke lokasi terlebih dahulu untuk observasi ke tempat KKN dengan perjalanan dari kota J ke kota B memakan waktu 4-6 jam. Nur mempunyai perasaan yang tidak enak terlebih saat di jalan bertemu dengan kakek-kakek pengemis yang menggelengkan kepala seakan mengisyaratkan untuk tidak pergi ke sana. Sampailah mereka di pinggir hutan. Lokasi desa memang masuk ke dalam hutan dan belum ada jalan mobil untuk akses masuk, sehingga mereka harus dijemput dengan motor oleh warga desa setempat. Sesampainya di desa ada perdebatan serius antara Mas Ilham dan Pak Prabu bahwa desa ini tidak bisa dijadikan lokasi KKN, namun Mas Ilham berhasil membujuk Pak Prabu agar bisa menolong adiknya melaksanakan tugas KKN sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat demi menyelesaikan tugasnya di universitas.
Singkat cerita, berangkatlah Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu, dan Anton ke desa Penari. Dalam perjalanan Widya menceritakan bahwa ibunya mempunyai firasat buruk dan memintanya untuk mengurungkan niatnya itu. Dalam hati, Nur pun merasakan hal yang sama, apalagi saat melakukan observasi ia sempat melihat sosok makhluk besar dengan tubuh yang dipenuhi bulu, bermata merah dan bertanduk kerbau. Makhluk itu menatap ke arah Nur seakan tidak menyukai kedatangan Nur. Nur memang berbeda dari teman-temanya. Gadis berjilbab ini lebih sensitif pada hal-hal supranatural, namun ia juga sosok yang religius. Di perjalanan ini Nur hanya berdoa semoga mereka berangkat dengan utuh dan pulang juga dengan utuh. Mereka menaiki mobil elf. Saat di tempat pemberhentian lampu merah ada pengemis yang menggebrak kaca mobil mereka dan membuat semua orang kaget. Dari bibirnya Nur bisa membaca seperti mengatakan supaya jangan pergi kesana. Tak lama kemudian sampailah mereka di tempat pemberhentian. Akses yang mereka tempuh sama seperti pada saat Ayu dan Nur datang pertama kali kala observasi. Mereka sudah dijemput motor yang akan mengantar mereka masuk ke desa. Sepanjang perjalanan sepi sunyi namun tiba-tiba Widya mendengar suara gamelan dan ia melihat seorang wanita sangat cantik sedang menari dengan anggunnya. Wanita yang menari itu memandang ke arah Widya, kemudian menghilang dari pandangan. Hal serupa pun dialami oleh Nur. Ia juga melihat penari wanita di tengah gelapnya hutan.
Sampailah mereka di desa disambut oleh Pak Prabu. Widya berkata pada Pak Prabu mengapa desa ini pelosok sekali, namun Pak Prabu menyanggah bagaimana bisa dikatakan pelosok karna perjalanan hanya memakan waktu 30 menit dari jalan raya. Widya kebingungan karena yang ia rasakaan adalah perjalanan yang lama sekali. Bukan setengah jam tetapi setengah hari. Saat malam hari listrik menggunakan genset, mereka menggunakan petromax. Saat teman-temannya sudah terlelap, Nur lagi-lagi melihat sosok mata merah mengintipnya. Ia ketakutan dan membaca ayat kursi. Kemudian terdengar suara papan kayu yang digebrak. Makhluk itupun menghilang.
Keesokan harinya mereka berkeliling desa ditemani oleh Pak Prabu. Desa ini memang terlihat ganjil karena banyak sekali tempat yang diberikan sesajen. Sampailah mereka di sebuah pemakaman. Pemakaman tersebut terlihat aneh karena semua batu nisan yang ada di sana tertutup oleh kain hitam. Tempat selanjutnya adalah Sinden yaitu kolam tempat air keluar dari tanah. Dan sampailah mereka di Tapak Tilas yaitu sebuah batas di mana orang dilarang keras untuk melintasinya. Tempat itu sudah ditandai dengan kain merah dan janur kuning.
Sore hari tiba Nur dan Widya berniat mandi. Di sana tidak ada kamar mandi karena sulitnya akses air, lalu merekapun mandi di sinden dekat sungai yang terdapat bilik. Nur mandi terlebih dulu dan Widya yang berjaga di luar. Di dalam bilik Nur mengalami hal menyeramkan. Ia melihat kendi yang berisi air penuh dengan rambut, ia pun kaget dan berusaha membuka pintu dan memanggil Widya namun pintu seperti ada yang menahan dan Widya tak menjawab panggilan Nur. Dan ternyata ada sesosok makhluk besar hingga menyentuh langit-langit bilik. Nur pun istigfar kemudian melempar batu sembari berdoa lalu makhluk itupun lenyap. Kondisi Widya di luar bilik saat menunggu Nur mandi justru ia mendengar seperti ada suara orang sedang berkidung di dalam bilik. Widya memanggil Nur namun tidak ada jawaban. Saat giliran Widya mandi, ia pun juga mengalami hal ganjil. Ketika ia membasuh badannya dan memejamkan mata, terbayang sosok wanita cantik jelita tersenyum kepadanya. Dan ia mendengar lagi suara orang sedang berkidung tepat di luar bilik di mana Nur berdiri. Sementara Nur menunggu justru ia juga mendengar suara orang sedang berkidung, ia memanggil Widya namun tidak ada jawaban. Iapun melihat dari celah bilik tidak ada Widya namun sosok wanita cantik yang sedang mandi dengan anggunnya. Wajah wanita itu persis seperti penari yang ia lihat di hutan. Setelah keduanya selesai mandi, masing-masing memasang wajah bingung terlebih Nur yang memang sedang berpikir siapakah yang sedang diincar ? dirinya ataukah Widya ?
Malam harinya Nur mendatangi rumah Pak Prabu. Ia ingin menyampaikan hal ganjil yang ia alami. Di rumah Pak Prabu sudah ada seorang kakek sepuh yang dikenal dengan nama Mbah Buyut. Nur disuguhi kopi hitam namun rasanya manis dan beraroma melati. Lalu Nur pun mengadu kalau selama di sini ia selalu diikuti makhluk lain. Ia takut jika ada perbuatannya yang tidak disengaja menyebabkan ia diikuti. Pak Prabu menjelaskan bahwa alasan ia diikuti adalah karna ia membawa serta sosok lain yang tidak diterima di sini. Mbah Buyut ikut menjelaskan bahwa ada sosok nenek-nenek yang "menjaga" Nur. Setelah itu Nurpun kembali ke penginapan dan tidur. Nur terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik dari luar rumah. Dan di luar rumah sudah ada teman-temannya, juga ibu pemilik rumah yang menyuruh mereka masuk. Ayu menceritakan kepada Nur bahwa Wahyu melihat Widya sedang menari sendirian di tanah lapang. Namun anehnya apa yang dialami Widya adalah ia keluar rumah justru karena melihat Nur keluar lalu menari di tanah lapang. Keesokan harinya Wahyu, Widya, Ayu, dan Pak Prabu pergi ke rumah mbah Buyut untuk menceritakan kejadian semalam. Alhasil mereka diberitahu bahwa Widya ada yang mengikuti. Wahyu bercerita pada Widya bahwa ia sering melihat Bima keluar kamar pada malam hari.
Di tempat lain Nur dan Anton sedang menegerjakan proker mereka. Anton memberitahu Nur bahwa ia sering melihat Bima bicara dan tertawa sendiri dan juga ia pernah melihat Bima sedang onani. Anehnya lagi Bima sering membawa sesajen pulang dan di letakan di bawah ranjang, dan di atas sesajen itu Anton menemukan ada foto Widya. Anton curiga kalau Bima ingin mempelet Widya dan lebih mengerikan lagi Anton juga sering mendengar suara perempuan, namun tidak ada satupun perempuan yang keluar dari kamar. Nur pun marah mendengar Anton seperti memfitnah Bima. Nur dan Bima memang sudah berteman sejak mereka di pondok pesantren. Nur tahu betul sifat Bima yang religius tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Anton pun mengajak Nur ke kamar untuk membuktikan omongannya, dan benar adanya ucapan Anton. Dan juga saat mereka berdua berada di kamar, tiba-tiba ada ular berwarna hijau yang keluar dari lemari lalu lenyap melewati jendela. Sore harinya di penginapan mereka melihat tangan Widya gemetaran lalu Nur memberinya minum, namun Widya mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya yaitu rambut panjang. Semua tersontak kaget. Anton mengatakan jika tiba-tiba muncul rambut barangkali ia sedang diincar entah itu pelet atau santet.
Cerita berlanjut dengan dengan proker Bima yang ditentang warga karena akan menggarap kegiatan di tapak tilas. Nur pun penasaran mengapa tempat itu seolah dikeramatkan. Ia pun nekat pergi melewati batas tapak tilas dengan berjalan ke dalam, kemudian ia menemukan bangunan mirip balai desa beratap khas jawa. Bangunan itu terbengkalai dan terdapat banyak gamelan. Di belakang bangunan itu ada sebuah gubuk. Lalu tiba-tiba ia bertemu dengan Bima dan Ayu. Mereka pun kaget melihat Nur. Nur tercengang dan marah mengetahui Bima dan Ayu sudah melakukan hal yang "terlarang". Sudah dua kali Bima dan Ayu melakukan itu. Sementara itu di lain tempat, Widya dan Wahyu pergi ke kota untuk membeli kebutuhan mereka dengan mengendarai motor milik Pak Prabu. Setelah selesai berbelanja dan kembali ke desa, Wahyu mengisi bensin dan di pom bensin bertemu dengan penjual cilok. Sembari melayani, tukang cilok memberi wejangan kepada Wahyu dan Widya bahwa jika memasuki hutan Alas D**** harus hati-hati, perbanyak doa dan jika ada mendengar sesuatu hiraukan saja jangan pernah berhenti jalan. Jangan pedulikan apapun dan jika dibuat celaka tetap lanjutkan perjalanan. Tukang cilok pun mendoakan mereka selamat sampai tujuan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Di perjalanan Wahyu berandai-andai bagaimana kalau nanti motor mereka mogok atau ban meletus. Dan tak lama benar terjadi, motorpun mogok. Mereka pun terpaksa harus berjalan kaki, dengan Wahyu sembari menuntun motor. Widya kesal mengapa Wahyu mengatakan suatu hal buruk yang belum terjadi. Entah berapa lama mereka jalan tiba-tiba mereka mendengar seperti suara hajatan. Mengingat nasihat tukang cilok tadi mereka mengabaikannya saja, namun semakin mereka jauh melangkah suara itu semakin keras sampai dilihatnya janur kuning. Mereka seperti berada di sebuah perkampungan yang sedang mengadakan pesta. Lalu tiba-tiba mereka didatangi oleh sorang kakek yang ingin menolong mereka. Sembari sepeda motor mereka diperbaiki, si kakek memberikan mereka makanan. Suasana sangat ramai dan ada penari yang sangat cantik sekali sedang menari di mana wajah penari familiar bagi Widya. Setelah motornya selesai diperbaiki, kakek tadi juga memberikan mereka bingkisan makanan yang terbungkus koran yaitu jajanan yang tadi dihidangkan. Mereka pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Sesampainya di penginapan, Wahyu dengan semangat bercerita apa yang barusan dialaminya. Namun Bima menyanggah bahwa tidak ada desa lain selain desa ini. Untuk membuktikan ucapannya Wahyu mengeluarkan bingkisan makanan tadi, namun yang semula dibungkus koran berubah menjadi daun pisang dan ketika dibuka ternyata bingkisan itu berisi kepala monyet yang darahnya masih segar dan berlendir. Setelah semuanya tertidur Nur teringat percakapan antara Bima dan Ayu yang tak sengaja pernah ia dengar yaitu Bima yang menanyakan apakah mahkota sudah diberikan kepada Widya atau belum. Karena penasaran, Nur pun diam-diam nekat menggeledah tas milik Ayu. Ia mencium aroma wangi dan yang ia temukan adalah selendang hijau yang dipakai oleh penari yang pernah ia lihat. Lalu tiba-tiba Widya mendatanginya mengatakn jangan diteruskan. Saat Widya bicara Nur heran karena Widya menggunakan bahasa jawa halus, dan suaranyapun juga bukan seperti suara Widya. Dan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Widya adalah ia menjamin Nur bisa pulang dengan selamat. Keesokan harinya Nur menemui Bima memaksa Bima untuk menceritakan semuanya. Bima akhirnya mengakui bahwa ia bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Dawuh yang mengaku bisa menolongnya agar Widya bisa menyukainya. Wanita itu memberikan semacam mahkota putih yang ada di lengannya, lalu Bima memberikannya kepada Ayu agar ditaruh ke tempat Widya.
Waktu pun berlalu. Pada suatu hari setelah mengerjakan proker, Widya pulang pulang ke penginapan dan mendapati Nur sedang duduk di kursi masih lengkap mengenakan mukena. Dengan suara seperti suara nenek-nenek Nur berkata pada Widya apakah ia betah tinggal di sini? Apakah sudah kenal dengan penunggu di sini ? Anak ganteng itu saja sudah kenal sama Badarawuhi. Widya pun menangis, Nur mencengkeram tangan Widya dengan kuku. Widya berusaha menyadarkan Nur, namun Nur tetap bicara mengatakan "jika tidak ada aku anak nakal seperti temanmu itu sudah membawa penunggu di sini mencelakai cucuku. Aku yang selama ini menjaganya. Tak kubiarkan siapapun mencelakai cucuku. Satu dari temanmu tidak bisa kembali. Ingatkan anak itu sebelum satu desa kena batunya." Setelah itu Nur berteriak dan jatuh terjerembab. Setelah sadar Widya bertanya pada Nur apakah dirinya mempunyai penjaga. Nur pun menceritakan saat ia di pondok pesantren, ia diberi tahu temannya bahwa dirinya ada yang menjaga bernama Mbah Dok dengan wujud seperti neneknya. Di suatu waktu selagi ada kesempatan, Nur diam-diam menggeledah tas Widya. Dan ia pun menemukan perhiasan putih melingkar, mungkin inilah mahkota yang Bima maksud. Langsung saja ia juga mengambil selendang hijau. Dua benda itu kemudian ia letakkan di kotak kecil yang di dalamnya ditaruh kitab suci kemudian dibungkus kain putih. Lalu Nur pun menemui Ayu dengan amarah, mengapa ia bisa tega menaruh benda seperti itu di tas Widya. Lalu Ayu pun mengatakan ada seseorang yang menyuruhnya menaruh benda itu, sebagai gantinya ia diberi selendang agar Bima menyukainya.
Masalah lain pun timbul untuk para mahasiswa ini yaitu warga yang membantu proker mereka mulai tidak berdatangan dengan berbagai alasan, seperti sakit, sibuk, dan kerasukan. Lalu sampailah pada suatu di malam hari Widya melihat Bima keluar. Widya pun mengikutinya. Bima berjalan ke arah tapak tilas. Jalanan yang jauh ia ikuti sampai ia mendengar suara kidung dan gamelan, ia juga mencium aroma melati. Widya melihat ada sebuah bangunan seperti sanggar atau balai desa dan di belakang bangunan itu ada gubuk. Di dalam gubuk itu ia mendengar suara Bima dan suara perempuan sedang mendesah, saat ia intip benar ia melihat Bima sedang berendam di kolam dengan dikelilingi banyak sekali ular besar. Bima pun melihat ke arah Widya. Widya pun lari lalu ia melihat seorang wanita sedang menari yaitu Ayu. Dengan mata sembab seperti orang menangis Ayu tidak berkata apapun namun ekspresinya mengisyaratkan Widya untuk segera pergi. Widya pun langsung pergi sambil menangis. Ia bertemu seekor anjing yang seolah menuntunnya ke arah pulang. Sesampainya ia berhasil kembali pulang para warga desa berhamburan ke arah Widya. Ternyata dirinya telah hilang selama sehari semalam
Di malam yang sama, saat Nur tidur ia terbangun melihat Ayu menganga ditambah Widya hilang, lalu dipanggilkannya Pak prabu. Nur pun menunjukan benda aneh yang ia simpan di dalam kotak. Kemudian dipanggillah Mbah Buyut. Mbah buyut memberitahukan bahwa temannya terjebak dalam pusara hanya raganya yang sudah kembali, sukmanya belum. Dan yang lebih berbahaya adalah Widya di mana sukma dan raganya masih terjebak. Widya diincar oleh Badarawuhi, dan menginginkan Widya memiliki gelang itu, namun benda itu disimpan oleh Nur, sedangkan Nur ada yang menjaga sehingga benda itu kehilangan pemilik, mbah Dok pun sudah berkelahi dengan separuh lelembut hutan untuk melindungi Nur. Lalu mbah Buyut menjelma menjadi anjing untuk mencari Widya. Kemudian Pak Prabu berkata pada Nur seharusnya ia memang harus menolak desanya dijadikan tempat KKN karna desa ini tidak cocok untuk anak seusia mereka. Warga desa yang memiliki anak yang beranjak dewasa tidak ada yang tinggal di sini, semua pergi merantau. Pak Prabu berasumsi bahwa Ayu dijadikan perantara ke Widya melalui Bima, namun Ayu tidak menjalankan tugasnya.
Saat Widya kembali, Di
penginapan sudah banyak orang duduk mengelilingi dua tubuh yang tertutup selimut terikat kain putih layaknya seperti orang yang sudah meninggal. Widya terpukul melihat dua orang itu adalah Ayu dan Bima. Keadaan mereka mengenaskan. Bima kejang-kejang dengan mata menghadap ke atas, sedangkan Ayu terbujur kaku dengan mata tak bisa tertutup. Lalu keluarlah mbah buyut dari dalam menghampiri Widya menceritakan bagaimana ini bisa terjadi. Mbah buyut berkata Bima dan Ayu sudah melakukan sebuah pantangan dan sekarang mereka harus menanggung akibatnya di mana Bima harus mengawini ratu ular yang bernama Badarawuhi. Ular-ular yang Widya lihat saat mengintip Bima adalah anak Bima. Sekali melahirkan bisa ribuan ular. Sedangkan Ayu harus menggantikan tugas Badarawuhi menari. Ayu harus menari mengelilingi hutan ini.
Pak Prabu sudah memberitahukan masalah ini ke pihak kampus dan keluarga Ayu dan Bima. Dan merekapun segera dijemput pulang. Keluarga Ayu dan Bima tidak terima anaknya menjadi seperti itu dan sempat ingin menuntut. Keluarga Bima tak henti mengadakan doa bersama dan selama tiga bulan dirawat Bima meninggal. Di malam ia meninggal Bima teriak minta tolong dan berkata ular. Ayu juga meninggal setelah sebelumnya Nur sempat diminta mas Ilham untuk ikut serta mendampingi pengobatan Ayu. Mereka pergi ke kota Ng**i namun hasilnya nihil.
Begitulah akhir tragis dari cerita KKN di desa penari. Banyak pelajaran yang terkandung untuk kita semua di manapun kita berada tetap harus menjaga tata krama, sopan santun, dan perbuatan seperti kata pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Juga di manapun kita berada baiknya jangan sembarang berbicara jika tidak ingin hal itu benar-benar terjadi.
Dalam chanel YouTube Raditya Dika, ia menghubungi langsung sang penulis thread yaitu Mr.Simple di mana ia menjelaskan cerita aslinya sebenarnya adalah 14 orang yang ikut KKN beserta dosen pembimbing dengan maksud agar tidak kewalahan dalam menceritakan. Cerita ini sang penulis akui memang tidak 100 persen sama karena cerita sesungguhnya terlalu gila. Cerita saat dua mahasiswa pulang dari kota lalu motor mereka mogok di hutan sebenarnya bukanlah Widya dan Wahyu namun pengalaman dua teman laki-laki Widya. Ketika ditanya mengapa ia memakai akun anonim, alasannya karena bertujuan melindungi privasi narasumber, dan lebih ingin low profile. Tujuan ia membuat akun ini hanyalah untuk berbagi pengalaman dari orang-orang terdekat. Sebelum menulis cerita KKN di Desa Penari ia juga sudah pernah menulis thread kisah-kisah horror lainnya. Ia pun tak menyangka cerita KKN ini akan viral. Semenjak cerita ini heboh, banyak orang yang mecoba investigasi di mana lokasi desa penari berada yang diyakini adalah desa Rowo Bayu. Banyak juga yang mengait-ngaitkan kota Banyuwangi atau Bondowoso yang menjadi lokasi desa penari, dan hutan yang dimaksud bisa Alas Purwo atau Alas Dadapan. Sang penulis sengaja tidak memberitahu nama tokoh, lokasi, universitas, dan fakultas. Banyak netizen yang menebak, ada yang salah , dan ada yang bener-benar tepat. Jika ditanya bagaimana kondisi mahasiswa yang terlibat ? Si penulis tidak tahu karena narasumber yang ia kenal hanya tokoh Widya dan Nur. Lalu banyak beredar di sosial media berupa foto seorang lelaki yang latarnya dikatakan tapak tilas. Laki-laki itu konon adalah Bima, namun si penulis mengatakan itu adalah hoax. Juga beredar thread kisah KKN ini dalam versi Mas Ilham. Sekali lagi ia membantah. Ia hanya menulis versi Widya dan versi Nur. Ia mengatakan cerita ini tidak ada kelanjutannya namun kisah ini akan dibukukan di mana ada detail cerita yang belum diceritakan.
Berikut link thread KKN di desa penari jika ingin tahu ceritanya lebih detail.
Versi Widya https://threadreaderapp.com/thread/1143116541480726531.html
Versi Widya https://threadreaderapp.com/thread/1143116541480726531.html
Comments
Post a Comment