PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE TIGA
PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI
PART#3
Setelah merasa yakin, teman sekamarku telah tertidur pulas. Aku turun dari ranjang dengan perlahan. Lalu melangkah secara mengendap-endap agar suara pijakan kaki ini tak terdengar oleh siapapun.
Telapak kaki setengah terangkat dan kugerakan maju dengan sangat hati-hati. Setelah membuka pintu kamar, aku menoleh sekali lagi ke arah teman-teman sekamar yang masih tetap terbaring dengan pulasnya. Hanya untuk memastikan, bahwa mereka tidak melihat gerak-gerikku malam itu.
Pesantren ini tidaklah terlalu ketat, hanya ada dua orang penjaga. Yang satu tengah menjaga di pintu gerbang depan, lalu satunya lagi ada bagian gerbang paling belakang pondok pesantren ini. Yang kutahu, mereka tak pernah berkeliling. Hanya duduk di posnya saja.
Aku terus berjalan secara perlahan, menyusuri lorong dengan penerangan lampu yang temaram. Membuatku sangat terbantu menyamarkan gerak-gerik demi melancarkan rencanaku malam ini.
***
Ruangan pribadi milik Pak Ustad dan Bu Nyai letaknya memang berada di sebelah selatan pondok, bangunan tersebut memang terpisah dengan bangunan yang lain. Harus melewati banyaknya pohon mangga yang tertanam tak beraturan di sekitarnya. Meski ada satu pohon besar lagi di antara barisan pohon, tapi aku tak tahu itu pohon apa.
Perjalanan menyusuri jalan setapak tanpa penerangan yang cukup, membuat wilayah ini jadi sangat jarang untuk dilalui orang. Apalagi jika sudah memasuki waktu petang. Meski begitu, aku tak akan menyerah demi mencapai tujuanku.
Sesampainya di pintu belakang rumah, aku mencoba untuk membuka pintunya, karena memang pintu bagian belakang tidak terkunci. Jadi tak perlu mengalami kesulitan untuk membukanya. Sejauh yang kutahu, pintu bagian belakang rumah ini sudah rusak dan lama tidak di perbaiki.
Aku menolehkan pandanganku ke arah belakang, hanya demi memastikan tidak ada satu orangpun yang membuntutiku. Setelah kurasa aman, barulah aku masuk ke rumah tersebut dan tak lupa kututup kembali pintunya.
Langsung saja kulangkahkan kaki ke ruang kerja milik Pak Ustad, tak membutuhkan waktu lama hingga aku bisa menemukan benda kesayangan milik Pak Ustad disalah satu laci kecil, di samping tempat tidurnya.
Setelah batu akik berwarna merah tersebut sudah ada dalam genggamanku. Buru-buru aku memasukannya ke dalam saku lalu kututup lacinya dan segera bergegas meninggalkan ruangan itu.
Setelah kurasa semuanya beres, aku langsung bergegas pergi meninggalkan rumah tersebut. Lalu kembali menuju kamar tempatku berada, sepanjang perjalanan kembali, suasana mendadak sangat sunyi, bahkan suara kodok yang biasanya saling sahut dari arah pesawahan di samping pondok inipun seolah tak terdengar.
Ini terlalu hening, namun buru-buru aku masuk ke kamar.
Sesampainya di dalam kamar, dengan kondisi jantung yang berdegup kencang, serta nafas yang memburu. Aku mencoba menenangkan diri sejenak, lalu kuhampiri ranjang milikku dan segera merebahkan tubuh dan menutupnya dengan selimut secara keseluruhan.
Entah mengapa tiba-tiba perasaan takut mulai menyeruak dan membuatku merasa sangat ketakutan seperti ini. Tubuhku menggigil, peluh keringat mulai bermunculan di sela pori-pori wajahku.
Aku tahu, selama hidupku, tak pernah melakukan kesalahan seperti ini. Bahkan jika almarhumah ibu masih ada, mungkin beliau akan memarahiku habis-habisan saat beliau tahu apa yang sudah kulakukan.
Namun, pikiranku tiba-tiba jadi kacau. Entah apalagi yang harus kulakukan, hingga aku tertidur tanpa tahu sejak kapan.
Keesokan subuh, setelah selesai shalat berjama'ah di masjid pondok pesantren. Semua santriwati tak diperbolehkan untuk segera meninggalkan ruangan mesjid. Para ustad pembimbing kami memberi instruksi kepada kami agar duduk sejenak dan mendengarkan apa yang ingin di sampaikan oleh Pak Ustad, pemilik pondok pesantren ini.
Kami semua menunggu, sembari memperhatikan Pak Ustad mulai berjalan menaiki mimbar.
Kemudian beliau mengucapkan salam dan sambutan seperti biasanya, semua santri dan para ustad menyimak dengan sangat serius. Namun, disela-sela tausiyah yang sedang beliau sampaikan. Ada seorang yang juga termasuk salah satu pengurus pesantren, kemudian menghampiri mimbar tempat dimana pemilik pesantren ini sedang berceramah.
Terlihat, orang tersebut sedang berbisik pelan-pelan di telinga kanan pak ustad, lalu disahut oleh anggukan kepala sang pemilik pesantren tersebut. Setelah orang tersebut selesai menyampaikan, dia kemudian mohon pamit.
Yang semula Pemilik Pesantren ini berceramah dengan raut wajah yang teduh, seketika berubah dan mulai menampakan raut wajah yang serius. Beliau menyampaikan bahwa, benda kesayangannya telah hilang.
Semua yang ada di ruangan ini seketika terkejut, termasuk juga aku!
Aku mulai khawatir dengan situasi ini, meski dengan sekuat tenaga mencoba untuk menyembunyikan ekspresi dan bersikap seolah tak tahu apapun.
Kulihat para santri yang lain mulai saling bertanya satu sama lain sembari berbisik.
Kemudian setelah beberapa menit kebingungan dalam situasi ini, akhirnya pemilik pesantren memerintahkan pada kami semua, santri yang ada untuk menggeledah barang masing-masing. Jika ada yang menemukan benda kesayangan milik pak ustad, segera melapor kepada pengurus pesantren yang ada.
Tak lupa pula, beliau menambahkan dalam ucapannya.
"Jika sudah ditemukan pelakunya, akan saya berikan hukuman, supaya kejadian ini tidak akan terulang kembali untuk para santri yang lain."
Semua kata-kata yang beliau lontarkan barusan membuat semua para santri yang ada, termasuk aku. Jadi sangat takut, bahkan terlihat beberapa santriwati lain saling berbisik dan bertanya siapa pelaku pencurian itu disela-sela pencarian.
Sedangkan aku, berusaha menyembunyikan benda kesayangan pak ustad yang kucuri semalam, namun naasnya. Saat aku mencoba memasukan benda tersebut ke dalam tasku, benda tersebut justru lepas dari genggamanku lalu jatuh ke lantai kamar.
TRING, TRING, TRING!
Suara gemercing terdengar, seketika mengalihkan perhatian teman sekamarku yang tengah sibuk mencari barang tersebut.
"Ooh, jadi kamu pelakunya Lin?" Tanya salah seorang temanku, raut wajahnya seketika berubah. Dia menatap tajam ke arahku.
Aku hanya bisa terdiam, tak mampu berucap untuk membantah karena saksi sudah memergokiku secara langsung. Kepala tertunduk malu, bulir air mata mulai jatuh membasahi pipi. Aku menangis terisak, pikiranku mulai kacau. Rencanaku demi mendapat perhatian dari seisi pesantren, seketika pudar. Begitu juga dengan harga diriku.
Hingga tanpa sadar, aku langsung berlari keluar kamar. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, tubuhku bergerak dengan sendirinya.
Sekilas masih kudengar suara dari teman-teman santri yang lain, tak luput juga para ustad yang mulai memanggil namaku. Namun entah mengapa, aku makin mengencangkan lariku menjauhi pesantren.
Bahkan ada penjaga gerbang yang mencoba menghalangi jalanku pun, tak mampu untuk menahan lajunya kecepatan langkah kaki ini. Kutabrak beberapa orang yang mencoba menangkapku hingga mereka terpental.
Suara panggilan saling sahut tetap masih terdengar di belakang, namun aku tak mau menghiraukannya lagi. Semakin sering mereka memanggilku, aku jadi semakin panik dan hal tersebut semakin membuatku berlari semakin kencang.
Hingga saat berada di depan jalan raya, aku masih tetap mengencangkan lariku tanpa memperdulikan kendaraan yang sedang melintas disana.
Namun naas, ada sebuah mobil yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi mulai mendekat. Sudut mataku melihat sekilas bagian depan mobil sudah sangat dekat, namun kala itu aku berpikir, masih bisa melewatinya.
Tapi takdir berkata lain, mobil tersebut tak sempat untuk menghentikan jalannya tepat waktu lalu menabrak tubuhku dengan cukup kencang. Membuat tubuhku terlempar lumayan jauh lalu tubuhku tersungkur di atas aspal.
Aku masih bisa sadar sesaat saat melihat pandangan mataku seolah tertutup oleh suatu cairan, dan saat aku mencoba menyeka mata, aku jadi tahu, itu darah segar yang mengalir dari atas kepala, kemudian semua terlihat gelap dan aku jadi tak sadarkan diri.
***
Bersambung...
Comments
Post a Comment