PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE SATU

PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI #Part_1 Semua ini bermula ketika ayahku menaruh dendam pada semua ustad yang ada di pesantren tempatku menuntut ilmu, beliau sangat terpukul sepeninggalku kala itu. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk meminta tolong pada seorang dukun yang terkenal mampu 'membangkitkan' orang yang telah lama mati. Aku dihidupkan kembali oleh dukun itu, namun, aku bukanlah seorang santriwati yang dulu. Kini tujuan hidupku untuk membalaskan dendam, pada orang-orang yang telah menyakiti hatiku kala aku masih berada di pesantren tersebut. *** Pagi itu adalah hari yang sangat cerah, aku tengah sibuk mengemas semua pakaian dan perlengkapan yang akan kugunakan selama berada di pondok. Sekitar pukul empat pagi, aku sudah terbangun dan menyiapkan semua keperluan yang nanti akan kubutuhkan. Ayahku terlihat tak berangkat bekerja hari itu, beliau sengaja tak bekerja karena alasan ingin mengantarku, putri kesayangannya, anak semata wayangnya. Agar bisa melanjutkan pendidikanku di sebuah pondok pesantren. Berkali-kali beliau bolak-balik di depan kamarku seraya menungguku. Aku tahu, hanya akulah satu-satunya yang beliau miliki. Setelah ibu tiada saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah tinggal bersamaku. Aku jugalah yang menggantikan peran ibu selama di rumah. Selepas pulang sekolah, aku segera membersihkan rumah, menyuci pakaian kami, memasak, dan menunggu ayah pulang. "Kamu serius nak, dengan pilihanmu kali ini?" Ayah bertanya padaku seraya berdiri di depan pintu kamar. Seketika aku berhenti sejenak lalu menolehkan pandangan pada beliau, raut wajah beliau terlihat sangat cemas. Seakan tak rela melepasku untuk bersekolah di pondok pesantren. "Iya ayah, izinkan Herlina untuk menuntut ilmu di pesantren. Lina ingin sekali bisa seperti almarhum ibu, bagi Lina, ibu adalah sosok wanita tercantik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Lina juga ingin seperti beliau," Aku berusaha meyakinkan beliau agar mau meridhoi niatku. Raut wajah ayah seketika berubah, sisi dari kedua kelopak matanya yang telah dihiasi keriput kecil, juga bola matanya yang terlihat makin berembun. Semua itu mengisyaratkan adanya rasa tidak ikhlas saat melepasku. Aku menghampiri beliau, lalu berlutut di hadapannya. Kemudian aku bersujud dan mencium kedua kakinya yang terasa sangat kasar. Bagiku tak masalah kala melakukan itu, yang terpenting adalah ridho dan ikhlas yang tercurah dari hati beliau, itu sudah melebihi segalanya bagiku. Sejatinya aku ingin seperti almarhum ibuku. Ibu adalah sosok malaikat cantik yang telah rela mengandung dan melahirkanku ke dunia ini. Beliau merawatku dengan segenap hati dan sepenuh jiwa, bahkan beliaupun rela untuk tidak beristirahat kala aku terbangun dan menangis di tengah malam. Ibu jugalah yang telah merawat dan mendidikku sedari aku kecil. Ibu juga dikenal sebagai sosok istri yang sholehah, beliau selalu menggunakan hijab yang lebar, serta cadar yang tak pernah lepas dari wajahnya. Ibu memang selalu menjaga auratnya meski sedang berada bersamaku di rumah. Dan atas didikan beliaulah, akhirnya aku memutuskan. Ingin seperti beliau, menjadi seorang wanita muslimah yang selalu menjaga kehormatan dirinya. Sedangkan ayah adalah sosok pekerja keras, beliau selalu bekerja dari pagi hari sekali. Hingga menjelang larut malam, barulah beliau pulang. Seringkali ayah selalu membawakan makanan untuk kami makan bersama-sama di rumah. Meski profesinya sebagai pedagang kaki lima, yang penghasilannya tidaklah seberapa. Namun beliau mampu memberikan nafkah yang terbaik pada kami keluarganya. Hasil keringatnyalah yang menghidupi kami sekeluarga. Yaa, hari itu aku diantar oleh ayahku ke pesantren. Letaknya berada jauh di ujung kota, bisa dibilang suasananya masih sangat asri. Hamparan sawah berwarna hijau, terbentang luas sejauh mata memandang. Sesampainya di depan gerbang pesantren, aku mencium tangan ayah lalu berpamitan untuk masuk. Lagi-lagi beliau seperti berat untuk melepasku. Ada rasa yang tak bisa beliau ungkapkan namun, aku bisa melihatnya dengan jelas melalui ekspresi yang ayah tunjukan padaku. Tak henti-hentinya beliau memeluk dan menciumi keningku, putri semata wayangnya. Beliau tak kuasa menahan tangis saat menatapku melangkah memasuki area pesantren. Hingga saat aku telah memasuki sebuah ruangan. Barulah aku bisa melihat, ayah sudah pergi dan mungkin melanjutkan aktifitasnya berjualan. Suasana di pesantren ini sangat sejuk, semilir angin sepoi-sepoi mampu membuat siapapun betah berlama-lama tinggal disini. "Jadi namamu Herlina ya Nak?" Tanya seorang ibu paruh baya padaku kala itu, beliau menyuruhku untuk duduk di salah satu ruangan. Beliau menampakan senyum ramah, sekilas aku jadi kembali merindukan sosok almarhumah ibu saat menatap beliau. "Iya bu, nama saya Herlina." Jawabku membalas senyum beliau. "Baiklah, saya akan jelaskan beberapa peraturan selama berada disini. Aturan tersebut harus kamu patuhi ya Nak. Semoga kamu juga betah selama berada disini." Ujar beliau kembali tersenyum, belakangan aku mulai tahu, beliau selalu di sapa dengan nama panggilan 'Bu Nyai'. Aku tak tahu siapa nama aslinya, namun karena hampir seisi pesantren memanggilnya dengan nama itu, maka aku pun ikut menyebut namanya dengan pangilan itu. Hanya untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitar saja. Tak lama kemudian, Bu Nyai memanggil seorang santriwati, setelah santriwati tersebut memasuki ruangan. Bu Nyai meminta santriwati tersebut untuk mengantarku ke kamar, tempat dimana aku bisa beristirahat dan menaruh semua barang bawaanku. Aku memohon pamit pada Bu Nyai, lalu bergegas meninggalkan ruangan dan melangkah menuju kamarku. Sepanjang perjalanan, aku ditemani oleh salah seorang santiwati yang diminta untuk mengantarku. "Jadi nama kamu Herlina ya? Perkenalkan, nama saya Ayu. Nanti kamu bisa tidur satu kamar denganku," Ujarnya memperkenalkan diri. "Ooh iya mbak, saya Herlina. Terima kasih ya, sudah mau mengantar saya." Sahutku sembari mengulurkan tangan padanya, lalu dia menyambut uluran tanganku. Kami berjabat tangan sebentar, lalu kembali melanjutkan langkah kami menuju kamar. Sesampainya di kamar, Ayu memberi tahu dimana aku bisa menyimpan semua barang bawaan, lalu dia juga menunjukan ranjang mana yang nantinya akan menjadi tempatku merebahkan tubuh saat lelah. Ayu sangatlah ramah, aku sangat bersyukur pada Allah, telah diterima di pesantren ini dengan tangan terbuka. Membuatku makin bersemangat untuk menuntut ilmu. Inilah jalanku, harapan dan cita-cita ingin seperti almarhumah ibuku akhirnya selangkah lebih dekat. Aku harus benar-benar serius dalam belajar, supaya ayah juga bangga padaku. *** Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Opor ayam kuning spesial

Sop tahu udang

Kuntilanak diperumahan kosong