PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE TUJUH
Beberapa hari bersama Herlina di rumah, membuat semua suasana jadi lebih ceria. Meskipun tak ada satupun warga yang tak mengetahui. Kembalinya Herlina dalam rumah ini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat kurahasiakan demi satu tujuan.
Meski tiap malam, aku selalu menemukan keganjilan dan gelagat yang sangat berbeda dari Herlina yang dulu. Aku sering mendapati Herlina tengah bersenandung tiap lewat tengah malam, bahkan tak jarang, dia tak pernah ada di kamarnya.
Saat kucari dalam seisi rumah pun tak pernah kutemukan, hingga keesokan harinya barulah Herlina memberitahukan, bahwa semalam dia sering duduk di atas pohon sembari asyik bersenandung.
Menurutnya, tempat itu merupakan area paling sempurna untuk bersenandung, sambil mengamati wilayah sekitar. Bahkan kerap kali Herlina sering mencium 'aroma' dari rumah tetangga yang berjarak kurang lebih sekitar tujuh hingga sepuluh rumah dari tempatnya duduk.
Saat aku bertanya akan hal itu, Herlina hanya menjawab,
"Aroma darah yang segar, membuatku terasa sangat haus, Ayah."
Meskipun sempat terkejut dengan pengakuan polosnya, tapi aku tak bisa mengelak lagi. Herlina sudah menjadi 'orang asing' bagiku. Meski saat siang hari, semuanya terlihat normal seperti sosok putri kecilku yang dulu.
"Nak, maukah kamu kembali ke pesantren tempatmu menuntut ilmu pada waktu itu?"
"Tentu saja Lina mau ayah, tapi bagaimana dengan perubahan Lina yang sekarang? Apa yang harus Lina lakukan saat malam datang nanti? Karena sejujurnya, Lina sering kali tak mampu untuk menguasai diri sendiri. Keinginan untuk pergi keluar setiap malam, hingga aroma darah segar membuat Lina jadi sangat haus, benar-benar tak bisa Lina kendalikan." Sahut Herlina tertahan, bulir bening mulai membahasi pipinya.
Aku tak bisa berkata banyak, ada rasa iba saat melihat putri kecilku menangis. Dari sinilah aku mengetahui, meski dia masih malaikat kecilku yang dulu. Akan tetapi, saat malam tiba. Ia seakan berubah menjadi 'sesuatu' yang bukan dirinya.
Entah apa yang sedang telah diperbuat oleh pria tua berjubah hitam itu, meski akhirnya putriku telah dibawa kembali ke dunia ini. Tapi dalam lubuk hatiku yang terdalam, tidak sepenuhnya menerima jika Herlina telah menjadi sosok lain yang kerap kali haus akan darah.
***
Keesokan harinya, kami pergi pada waktu sebelum subuh. Semua usaha itu kami lakukan agar tak ada satupun warga yang mengetahui keberadaan Herlina saat ini, mereka hanya mengetahui bahwa Herlina telah meninggal. Jadi sebisa mungkin, aku tetap merahasiakan hal ini dari mereka.
Sekilas kulihat selama dalam perjalanan menuju pesantren, gerak-gerik Herlina tak menimbulkan sesuatu yang aneh. Dia seperti Herlina yang biasanya, padahal kami bergegas berangkat dari rumah, kondisi saat itu masih sangat gelap dan semua orang enggan untuk bangun dari tidurnya.
Aku berharap bisa menyaksikannya sendiri, perubahan Herlina saat dia mengatakan 'haus darah' dengan polosnya, namun sayangnya aku tak diizinkan untuk melihat 'Herlina yang lain'.
***
Sesampainya di tujuan, aku melihat ada dua orang penjaga gerbang yang sudah mulai sibuk membersihkan area sekitaran gerbang. Mereka berdua tengah menyapu dengan asyiknya, suara khas dari sapu lidi yang sedang digunakan pun terdengar di telinga kami berdua.
"Assalamu 'alaiku .." Ucap Herlina tertahan. Seketika aku melirik ke arah Herlina yang sudah mulai mempercepat langkahnya, sepertinya dia hendak menyalami kedua orang penjaga gerbang tersebut.
("Mengapa Herlina mengucap salam tak seperti biasanya?") bathinku bertanya-tanya, namun segera kutepis, mungkin hanya aku yang salah mendengar.
"Walaikum salam," Ucap kedua penjaga hampir bersamaan.
Mereka berdua langsung menyambut Herlina dengan ekspresi yang berbeda saat aku mengambil barang-barang miliknya. Sepertinya mereka juga merindukan Herlina, aku hanya bisa tersenyum melihat perubahan sikap orang-orang yang ada di pesantren ini.
Setelah bersalaman dan saling bertanya kabar di depan gerbang, kami berdua segera bergegas menuju bangunan paling ujung di pesantren ini.
Ya, kami menuju rumah pemilik pesantren ini.
Sambutan pemilik pesantren, Pak Kyai dan Bu Nyai juga tak kalah hangatnya dengan kedua penjaga gerbang tadi. Kulihat, Bu Nyai langsung memeluk Herlina dengan penuh kerinduan, layaknya seorang ibu yang merindukan anaknya.
Aku sempat terharu melihat pemandangan ini, sambutan mereka sangat baik saat melihat kedatangan Herlina kembali. Aku jadi merasa lega saat melepas Herlina untuk kembali belajar di pesantren ini.
"Titip Herlina ya, Pak Kyai, Bu Nyai, saya pamit." Tutupku membiarkan Herlina melepas rindu dengan pemilik pesantren ini.
Bahkan saat aku melangkah menuju gerbang depan, banyak sekali para santri yang berjalan terburu-buru ke arah rumah pemilik pesantren ini. Mereka seakan tidak percaya, Herlina bisa sembuh total dan kembali lagi kesini.
Setidaknya, aku sudah merasa cukup yakin. Semua tuduhan orang pada Herlina saat itu telah sepenuhnya hilang dan mungkin, Herlina sudah benar-benar diterima kembali dengan tangan terbuka di sini.
Namun, sesaat setelah aku keluar dari pesantren tersebut. Aku melihat ada seseorang tengah berdiri di ujung jalan, entah mengapa tiba-tiba perasaan takut mulai menyelimutiku hingga membuat bulu kuduk merinding.
Dengan penuh perasaan takut, aku terus berjalan karena hanya ada satu jalan setapak yang bisa membawaku keluar dari area ini. Hingga saat telah dekat dengan ujung jalan itu, dia menyapaku dengan tatapan mata yang tajam.
"Jangan lupakan 'perjanjian' kita, kamu harus selalu mengingat hal itu atau putrimu tak akan bisa bertahan lebih lama."
***
Bersambung...
Comments
Post a Comment