PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE EMPAT
PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI
PART#4
Semua orang yang hadir disitu langsung berteriak histeris, tak terkecuali para ustad yang mengejar Herlina. Mereka terdiam beberapa saat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kemudian dengan sigap, mereka langsung membawa tubuh Herlina yang telah terkulai lemas dengan kepala yang berlumuran darah. Mereka membawa Herlina ke rumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan dengan segera.
Tak lupa pula, pihak pesantren segera memberitahukan kabar Herlina pada orang tuanya. Semua sangat terpukul dengan kejadian ini.
***
POV ayah Herlina
Sesampainya di rumah sakit, aku tak kuasa menahan rasa sedih yang menyeruak memenuhi dada. Nafas terasa sangat sesak, kala melihat putri kesayangan satu-satunya tengah terbaring lemas di ranjang rumah sakit itu.
Dia harta paling berharga yang kumiliki satu-satunya di dunia ini. Tapi mengapa semua ini bisa terjadi?
Beberapa hari aku selalu menemaninya, duduk di samping tubuh malaikat kecilku sembari memandangi wajahnya yang pucat pasi. Entah berapa kali air mata terus menghiasi pipi kala aku memandanginya.
Ada rasa takut kehilangan, karena hanya tinggal dia yang kumiliki. Belasan tahun yang lalu aku memang tak sanggup saat melihat ibunda Herlina meninggalkan kami berdua, lalu apakah aku juga harus kehilangan putri kecilku lagi untuk saat ini?
Beberapa hari aku terus tenggelam dalam tangis, aku tetap setia menunggu di samping ranjang tempat putriku terbaring. Tak lupa aku selalu mendirikan shalat dan meminta pada yang Maha Kuasa, berharap supaya semua masalah ini bisa dilalui, dan putriku bisa segera siuman.
Meski aku tak memungkiri, mengapa ujian hidup sangat berat, seakan-akan selalu menerpa pada keluarga tak mampu seperti kami?
Satu minggu telah berlalu, namun putri kecilku tak kunjung menunjukan gejala yang kian membaik. Aku berinisiatif untuk pergi sementara waktu ke pondok pesantren, tempat Herlina menuntut ilmu.
Niatku untuk mengambil barang-barang milik Herlina sementara, sampai dia siuman dan pulih dan sakitnya.
Sesaat sebelum aku pergi, aku mendirikan shalat dhuha terlebih dahulu. Setelah selesai melaksanakan shalat, kuhampiri tubuh putriku yang masih saja terkulai lemah, kucium keningnya lalu berbisik pelan di telinganya.
"Nak, ayah pergi sebentar ya. Ayah janji tak akan lama, setelah urusan ayah selesai, ayah pasti kembali untukmu, Nak."
Setelah berucap seperti itu, aku bulatkan niat untuk beranjak pergi dari ruangan tersebut. Namun, saat sampai di depan pintu. Aku menolehkan pandangan kembali ke arah putri kecilku yang tengah terbaring. Memandangnya sesaat, berharap semoga cobaan ini bisa segera berlalu.
Air mata kembali mengalir kala memandangnya, kuseka bulir air mata lalu bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dan langsung menuju pondok pesantren.
***
Sesampainya di tempat tujuan, langkah kaki langsung tertuju pada bangunan di sebelah selatan pondok. Tempat dimana terdapat ruangan sang pemilik pondok pesantren ini.
Begitu tiba disana, aku langsung di sambut oleh seorang wanita paruh baya, namun belakangan aku mulai tahu, beliau selalu di panggil Bu Nyai di lingkungan itu. Dia mempersilakan duduk sembari menunggu suaminya datang.
Kami mengobrol santai sejenak, sampai suami Bu Nyai datang. Barulah aku mengutarakan maksud kedatanganku.
"Pak kiyai, maksud kedatangan saya disini, untuk mewakili putri saya, Herlina. Saya ingin meminta maaf, jika putri saya ada banyak salah, baik yang disengaja atau tidak,insyaa Allah. Begitu Herlina sembuh nanti, Herlina akan segera kembali ke pesantren ini." Ucapku berusaha ramah dan sopan saat berbicara di hadapan pemilik pesantren ini.
"Insyaa Allah, kami sudah memaafkan putri bapak, Herlina. Kami juga meminta maaf, jika ada salah kata saat Herlina berada disini. Semoga Herlina cepat sembuh ya, pak. Dan bisa segera kembali menuntut ilmu di sini, kami semua merindukan Herlina. Pintu pondok pesantren ini, terbuka untuk Herlina." Jawab pak Ustad, sang pemilik pondok pesantren ini.
Setelah berpamitan pada pemilik pesantren, aku langsung bergegas untuk pergi menuju kamar tempat dimana barang milik putri kesayanganku tersimpan
Namun sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mendapat tatapan sinis dari para santri yang ada disitu. Bahkan ada beberapa yang sengaja membicarakan keburukan putri kesayanganku, mereka berbicara sembari berbisik, meski aku masih bisa menangkap apa yang sedang dibicarakan oleh mereka.
Bathinku tak menerima, semua tuduhan yang dibicarakan oleh para santri itu seolah-olah terlalu menghakimi putriku. Setahuku, Herlina anak yang baik dan mau menolong teman-temannya. Namun mengapa mereka justru menyalahkan putriku?
Ini tidak adil!
(Jika nanti, Herlina telah sembuh dari sakitnya. Aku sendiri yang akan membuktikan bahwa putriku memang tak bersalah)
Hingga saat mendekati gerbang menuju keluar pun, para penjaga gerbang seolah enggan untuk melihatku. Ada rasa kesal yang menyeruak dalam dada, hingga akhirnya kuputuskan untuk segera mempercepat langkahku, keluar dari pondok pesantren ini.
***
Sesampainya di rumah sakit, langkahku langsung tertuju pada kamar tempat dimana Herlina berada.
Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat di atas ranjang itu, tubuh putriku telah tertutup oleh kain putih sepenuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Masih tak bisa kupercaya, aku menghampiri ranjang tempat Herlina terbaring lalu membuka separuh kain yang menutup wajahnya.
Dan setelah kubuka, ternyata memang benar itu Herlina!
Aku menangis sejadi-jadinya, sembari memeluk tubuh putri kesayanganku yang telah terbujur kaku. Suhu tubuhnya mulai terasa dingin.
Tak bisa menerima ini, mengapa ujian ini terlalu berat. Hingga aku harus kembali kehilangan orang yang kusayangi?
Namun, apalagi yang bisa kuperbuat?
Semuanya telah terjadi, kini Herlina telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Menyusul almarhum ibunda tercintanya yang telah lebih dulu meninggalkan kami.
"Kamulah satu-satunya harapan ayah, Nak. Mengapa kamu tega meninggalkan ayah sendirian, ayo bangun, nak, bangun, jangan pergi." Seruku terisak.
Kini, aku hanya bisa menerima kenyataan. Bahwa Harta paling berharga, putri kesayanganku, malaikat kecilku, telah pergi lebih dulu meninggalkanku.
***
Seminggu setelah pemakaman Herlina, aku kembali mendatangi makamnya untuk berziarah.
Setelah selesai membaca beberapa doa, aku menatap tulisan nama Herlinan yang mengukir jelas di depan batu nisannya. Kemudian aku memeluk nisan tersebut, hingga rasa sesak dalam dada mulai terasa memenuhi paru-paru, bulir air mata tak mampu di bendung lagi.
Aku tak kuasa menahan kesedihan ini, masih tak bisa percaya jika Herlina telah pergi. Padahal seingatku, baru beberapa minggu yang lalu. Aku masih bisa berbicara dan bercanda bersamanya.
Namun, di tengah kesedihan dan isak tangis yang masih tak bisa kuhentikan. Terdengar suara bisikan di telingaku kala itu.
"Pergilah ke rumah salah satu orang berjubah hitam, yang berada jauh di sudut hutan. Letaknya berada di utara. Jika kau pergi kesana, putrimu bisa dihidupkan kembali." Sahut suara itu terdengar, meski tak terlihat wujudnya.
Aku langsung terkejut dan mulai memalingkan pandangan ke arah sekitar pemakaman, berharap dapat menemukan pemilik dari suara tadi. Namun, saat aku mencoba mencari asal dari suara tersebut, aku tak menemukan siapapun disana.
Tapi, satu hal yang membuatku sedikit terbujuk. Adalah kata-kata dari suara tadi, hingga tanpa sadar, tangisanku terhenti dengan sendirinya.
"Sepertinya aku harus segera mencari tempat yang dikatakan oleh suara tadi, apapun akan kulakukan demi Herlina." Ucapku membathin.
***
Bersambung...
Comments
Post a Comment