PEMBALASAN DENDAM ARAWAH SANTRIWATI EPISODE SEBELAS

Makhluk ini terus membawaku keluar menjauhi area pesantren. Pikiran jadi tak karuan, dugaan buruk mulai berkecamuk dalam kepala. Rasa khawatir yang teramat sangat mulai menguasai. Di bawah cahaya bulan yang temaram, ia terus membawaku menyusuri jalan setapak. Entah mengapa, saat aku dikendalikan oleh makhluk ini. Semua wujud yang seharusnya tidak bisa aku lihat, namun kali ini semuanya nampak jelas di depan nyata. Banyak sekali sosok makhluk astral di sekeliling wilayah ini. Seingatku, wilayah ini seharusnya bagian perkebunan kecil dekat hamparan sawah di sebelah pesantren. Jika saat matahari mulai muncul di pagi hari, hingga saat sang surya mulai meninggi saat siang. Wilayah ini terasa sangat sejuk dipandang mata. Namun, hal tersebut terlihat sangat berbeda saat malam tiba. Aku baru tahu, ternyata wilayah ini memiliki banyak sekali sosok makhluk halus. Sepertinya mereka mendiami wilayah ini cukup lama, entahlah. Aku hanya berani menebak, meski tak tahu kenyataan sebetulnya. Masing-masing dari mereka terlihat memiliki perwujudan yang lumayan mengerikan, namun ada pula beberapa dari mereka yang terlihat sangat cantik dan anggun. Saat makhluk ini mulai membawaku masuk lebih jauh ke area ini, aku melihat ada satu sosok pria tua dengan badan sedikit membungkuk. Ia menggunakan topi caping yang sangat lebar, bahkan lebarnya melebihi topi caping yang biasa digunakan para petani pada umumnya. Sosok tua tersebut juga membawa sebuah tongkat, bentuknya tidak sepenuhnya lurus. Ada semacam alur yang berbelok dan membuat tongkat tersebut justru lebih terlihat seperti seekor ular. Ujung tongkat di bagian sisi atasnya pun terlihat lebih besar, dan saat kuperhatikan. Ternyata itu kepala ular yang dihiasi mahkota kecil berwarna keemasan. Aku baru menyadari saat melihat tongkat yang di pegangnya itu, ternyata adalah sesosok ular putih yang menggunakan mahkota. Namun, hal lain yang membuatku lebih ngeri adalah sosok pria tua itu sendiri! Pria tua itu menggunakan pakaian serba hitam, mulai dari baju hingga celana panjang dan sedikit menggantung karena ukuran panjangnya hanya di antara bagian lutut mata kaki. Ia juga tak menggunakan alas kaki, kemudian jenggotnya yang sangat panjang itu juga membuatku bergidik ngeri. Jenggotnya sangat panjang menjuntai hingga menyentuh tanah. Selain itu, bola matanya yang merah menyala sepenuhnya, memberikan kesan kengerian yang mampu membuat siapapun merinding ketakutan. Pria tua tersebut menghadang jalannya kami. Kami pun berhenti di kebun kecil tersebut. "Berhentilah disini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu." Ucapnya datar. Makhluk yang menguasai diriku ini seketika berhenti, kemudian secara perlahan turun dan mulai menapak di tanah. Aku juga mulai merasakan telapak kaki ini menginjak tanah dengan pola tekstur yang sedikit basah. Mungkin karena kebun ini letaknya tepat di samping area sawah. Sehingga tanah disini terasa sangat empuk dan sedikit basah saat dipijak. Lalu sang pria tua ini berbicara dengan makhluk yang membawaku, ia berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak bisa kupahami. Dan saat aku tersadar, entah sejak kapan aku duduk di tanah. Tiba-tiba saja aku sudah dalam posisi duduk bersila. Sembari terus menunggu dan menyaksikan wanita bergaun merah dan pria tua itu sedang berbicara. "Loh, sejak kapan aku duduk disini?" Aku bertanya pada diri sendiri, kemudian spontan aku memeriksa seluruh bagian tubuhku tanpa disuruh. Pakaianku kembali seperti semula, sama seperti sebelumnya saat makhluk bergaun merah itu belum menguasai diriku. Dengan gamis lebar berwarna gelap dan hijab yang lebar dan panjang hampir sepinggangku. Disaat seperti ini, ingin rasanya aku pergi meninggalkan mereka berdua. Namun entah mengapa sesuatu yang janggal mulai terjadi. Tubuhku terasa sangat sulit untuk digerakan, rasanya seakan berat meski aku memaksa untuk tetap mencoba berdiri dari tempatku duduk saat ini. Entah karena gravitasi bumi yang terlalu berat, atau mungkin karena memang tubuhku tertancap kuat di tanah ini, hingga beberapa kali percobaan. Aku tetap tak bisa berdiri. Tak lama kemudian, mereka berdua telah selesai berbicara. Lalu makhluk bergaun merah tersebut menghampiriku. "Berdirilah." Perintahnya sembari berdiri tepat di hadapanku, aku sampai harus mendongakkan wajah agar bisa melihatnya sosok yang telah membuatku hidup kembali. Ekspresi wajahnya yang datar dan sedikit gelap karena tertutup oleh uraian rambutnya yang kaku. Aku hanya bisa melihat gigi taring yang menyembul keluar dari bibirnya. Ajaibnya, setelah makhluk tersebut berkata seperti itu, aku bisa berdiri kembali. Dengan posisi masih berdiri sedikit membungkuk, aku celingukan memperhatikan lingkungan sekitar tempat ini. Sama sekali tak kudapati pria tua tadi. Ke mana dia? "Di mana pria tua tadi? Yang tadi sempat menghentikan kita di sini dan berbicara denganmu. Siapa dia sebenarnya?" Aku menghujani banyak pertanyaan pada makhluk bergaun merah yang masih berdiri menatapku datar tanpa ekspresi. "Dia adalah pria tua yang dulu pernah ditemui ayahmu, dia jugalah yang membuat permintaan ayahmu terwujud hingga kamu bisa hidup kembali." Sahutnya menjelaskan, meski wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Meski bagi kebanyakan orang lain, berhadapan dengan makhluk bergaun merah ini tentu membuat mereka ketakutan. Apalagi posisiku berada tepat di hadapannya, dengan jarak hanya sekitar satu langkah kaki saja. Namun entah mengapa, aku seolah tak merasa takut lagi padanya. Sepertinya diri ini sudah mulai bisa menerima kehadirannya dan terbiasa. Meski tetap saja, kebiasaan yang selalu haus darah dan mengkonsumsi darah bekas haid itu membuatku selalu benci untuk mengingatnya. "Kita harus pulang, aku ingin kembali ke pesantren." Spontan aku mengajak makhluk bergaun merah itu. Namun dia tetap diam tanpa ekspresi. Ia tak menyahut. Seingatku, aku baru saja membuat pak kyai mati terbunuh, meskipun sebenarnya bukan aku yang melalukannya. Aku juga mulai ingat, darah segar yang membasahi bibir ini masih belum kubersihkan. Darah segar milik Pak Kyai. Karena makhluk tersebut tak menyahut ajakan dariku, aku berinisiatif untuk melangkah mencari air yang ada di sekitar wilayah ini. Setahuku, di samping kebun ini ada hamparan sawah dengan air yang masih terus mengalir. Aku berniat untuk membersihkan sisa darah yang masih melekat di bibir ini. Sesampainya di ujung kebun ini, hamparan sawah terhampar luas di depan mata. Suara gemercik air yang mengalir sanggup membuat hatiku tenang sesaat. Aku berjongkok dipinggiran sawah lalu mengambil air yang ada. Kedua telapak tangan kusatukan berjajar, lalu kuambil air yang ada di telapak tangan kemudian kubasuhkan pada wajahku secara keseluruhan. Keanehan kembali terjadi, beberapa kali kubasuh wajah dan bibir ini namun bekas darah yang menempel pada bibirku seakan tak bisa kubersihkan. Kemudian makhluk bergaun merah itu mulai berkata. "Kamu tak akan bisa membersihkan darah itu, kecuali malam sudah berganti pagi." Ujarnya lirih. Aku seketika menoleh ke arahnya, entah sejak kapan dia sudah berdiri tepat di belakangku. Seingatku, saat aku berjalan ke arah sawah. Ia masih berdiri terpaku di kebun sana. "Jadi besok noda darah ini baru bisa kubersihkan? Mengapa tak bisa sekarang saja? Aku tak mau kembali ke pesantren dengan wajah penuh darah seperti ini!" Sahutku meninggikan suara, aku sedikit kesal. "Ini malam jum'at kliwon, kamu tak bisa semudah itu membersihkannya, kecuali malam ini sudah berganti pagi." Jawab makhluk tersebut. Aku mendengkus kesal, apa selama malam ini aku harus tetap diam disini bersama makhluk ini? "Lalu apa kita tetap berdiam disini sampai besok pagi?" Tanyaku lagi dengan nada jengkel. "Untuk sementara waktu, kita tak akan berada di pesantren saat malam. Aku akan membawamu keluar." Jawabnya sembari melayang mendekatiku, lalu seketika dia menghilang dan tubuhku terasa sangat berat. Aku tahu, makhluk ini sudah masuk ke dalam ragaku lagi. Lalu kemudian, tubuhku berdiri secara otomatis. Makhluk ini kemudian melayang menjauhi area pesawahan dan membawaku pergi ke arah pemukiman penduduk. "Sepertinya kali ini kau berniat untuk menyebarkan ketakutan pada warga di sini." Ucapku pada makhluk bergaun merah. Ia tak menjawabku, melainkan dia menyahut oleh suara tawa cekikikan yang membuat sebagian warga yang masih berada di depan rumah, langsung lari berhamburan saat mendengar suara tawanya yang menyeramkan. *** Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Opor ayam kuning spesial

Sop tahu udang

Kuntilanak diperumahan kosong