PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE ENAM
Enam hari kemudian, aku terbangun disuatu malam karena mendapat 'mimpi aneh' yang entah aku pun tak tahu apa maksudnya. Di dalam mimpi tersebut, ada seorang wanita bergaun merah mendatangiku, wajahnya ditutup oleh tudung merah hingga tak terlihat wajahnya dengan jelas.
Namun, wanita itu menghampiri lalu menggandeng tanganku. Kemudian dia menangis, tepat di sampingku. Setelah melihat itu, seketika aku terperanjat dan terbangun dari tidur.
***
Keesokan harinya, aku bersiap untuk kembali menuju hutan di utara kota ini, tempat dimana rumah pria tua berjubah hitam itu berada. Meski dari awal pertemuan, aku masih tak tahu siapa nama aslinya. Bahkan untuk bertanya pun, sepertinya aku tak pernah diberi kesempatan olehnya.
Tapi biarlah, namanya bukanlah hal yang terpenting. Tujuanku bertemu dengannya, agar aku bisa bertemu dengan malaikat kecilku lagi.
Tak lupa juga aku membawa benda berbentuk kalung yang diberikan pria tua itu sesaat sebelum aku pulang, walaupun aku tak tahu benda itu untuk apa, namun mengingat pengalaman pertama yang didapat saat memasuki hutan tersebut sangatlah berat untuk diterima.
***
Perjalanan kedua kalinya menuju hutan ini tidaklah sulit, justru dengan mudahnya aku bisa langsung menemukan rumah pria tua itu. Kondisi di sekitar area hutan pun lebih tenang dari sebelumnya, mungkin para penunggu hutan ini telah mengenalku, jadi mereka enggan untuk menampakan diri lagi.
Sesampainya di depan pintu, kuketuk beberapa kali namun tak terdengar suara menyahut dari balik pintu. Mungkin pria tua itu sedang tak di rumah, pikirku. Jadi kuputuskan untuk menunggunya di depan rumah tersebut.
Hawa yang sejuk dan angin sepoi-sepoi membuatku merasa nyaman hingga membuatku terkantuk dan beberapa kali menguap. Kurebahkan tubuh di atas dipan bambu yang terletak di teras rumah ini, cukup beberapa kali berkedip, aku pun langsung tertidur dengan nyenyaknya.
***
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Di alam bawah sadar, sayup-sayup kudengar suara seorang wanita sedang bersenandung. Entah kidung apa yang sedang disenandungkannya. Hingga membuatku semakin enggan untuk bangun dari tidur.
Kidung tersebut, dia senandungkan berulang-ulang. Tepat di samping telingaku, tapi ada yang aneh!
Seingatku, awalnya aku tengah terbaring di atas dipan bambu. Namun, kali ini mengapa aku merasa kepala ini tengah bersandar diatas sebuah benda yang empuk?
Ketika kedua mata ini terbuka, betapa terkejutnya saat tahu aku tengah tertidur di atas paha seorang wanita bergaun merah, wanita yang kulihat dalam mimpi semalam.
Aku dipaksa untuk memandangi wajahnya, ingin kugerakan tubuh ini agar bisa segera menjauh, tapi tubuh ini seakan tak bisa kugerakan!
Bahkan untuk berbicara pun, lidah dan bibir ini terasa kaku.
Wanita bergaun merah tersebut lalu mendekatkan wajahnya, matanya tak berkedip saat menatapku. Rambutnya yang panjang tak beraturan, terlihat sangat kaku layaknya sapu ijuk. Selain itu, dia tak memiliki bibir. Bagian gigi yang telah sepenuhnya berbentuk seperti kerangka, terpampang jelas di hadapan mata.
Kemudian, dia mengusap kepalaku perlahan sembari tersenyum. Wajahnya yang hancur dan darah yang menetes terus menerus dari sela-sela giginya menguatkan kesan menyeramkan pada sosok wanita bergaun merah ini.
Namun seketika pemandangan mengerikan tersebut hilang seketika, saat wajahku terasa diusap oleh telapak tangan yang basah. Semuanya terlihat berubah, dan aku kembali terbangun di atas dipan bambu.
"Ayo masuk, saya sudah menunggu kedatanganmu." Ajak pria tua berjubah hitam, ternyata dialah yang mengusap wajahku menggunakan telapak tangannya yang basah tadi. Harum bau melati mulai menguar dan tercium lekat di wajah.
Aku segera bangkit dan menyusul pria tua itu masuk ke dalam rumahnya. Kami berjalan ke arah bagian paling belakang rumah ini, dan saat sampai di ruangan paling belakang. Mataku menangkap pemandangan yang membuatku teringat masa kecil.
Ruangan tersebut masih beralaskan tanah sepenuhnya, di bagian pojok kamar ini terdapat sebuah ranjang yang sekilas, hampir sama persis seperti dipan bambu yang ada di teras tadi. Hanya saja, ranjang tersebut dikelilingi oleh kain penutup tembus pandang.
Orang pada zaman dahulu menggunakan kain penutup seperti itu, untuk mencegah serangan nyamuk saat tidur malam. Tapi di era moderen seperti sekarang ini, masyarakat sudah tak pernah menggunakannya lagi.
Pria tua itu berjalan menghampiri ranjang, lalu lengan kanannya membuka kain penutup itu secara perlahan. Aku hanya memperhatikan tanpa berkedip.
Saat kain penutupnya terbuka lebar, aku langsung terperanjat saat melihat, ternyata ada seorang gadis yang tengah terbaring di ranjang tersebut.
Kemudian pria tua itu melambaikan tangan padaku, mengisyaratkan agar aku mendekat. Dan saat jarak tempatku berdiri sudah berada persis di samping ranjang, mataku berembun seketika saat ku tahu ternyata gadis yang sedang terbaring di ranjang itu adalah Herlina!
Tubuh renta ini refleks, bergerak dengan sendirinya, ingin segera memeluk putri kecilku yang masih terbaring memejamkan mata. Rasa rindu yang begitu kuat membuatku jadi lupa dengan adanya pria tua berjubah hitam di sebelahku.
Namun, sebelum aku berhasil memeluk tubuh Herlina. Pria tua itu langsung mencegahku, dia memberi isyarat padaku agar bisa menyelesaikan 'ritual terakhir' sampai Herlina bisa hidup kembali.
Aku pun menurut, hati ini sudah tak sabar untuk bisa berbicara dan menumpahkan rasa rindu yang ditahan pada malaikat kecilku.
"Tunggu sampai aku menyelesaikan ritual terakhir, setelah itu. Kamu bisa bebas membawa pulang putrimu kembali." Ujarnya, aku hanya mengangguk.
Kulihat, dia memasukan telapak tangannya pada sebuah cawan kecil yang berisi air dan potongan daun melati. Lalu pria tua itu mengusapkan telapak tangannya yang telah basah pada wajah Herlina.
Ajaibnya, Herlina langsung membuka matanya. Dan saat melihatku, Herlina langsung berseru dengan raut wajah penuh kerinduan.
"Ayah ..." Seru Herlina menahan tangis, matanya berbinar dengan air mata.
"Iya, Nak. Ayah di sini, Nak." Sahutku sembari terisak, tak kuasa menahan haru saat bisa melihat Herlina kembali.
Kemudian pria tua itu membantu Herlina bangkit, dan memapahnya menghampiriku. Aku langsung memeluk tubuh malaikat kecilku dengan penuh kerinduan. Begitupun dengan Herlina, dia menangis dalam pelukanku, ayah kandungnya.
Setelah kami selesai, semerta-merta aku langsung mengucapkan terima kasih pada pria tua itu, karena telah mengembalikan Herlina.
"Ki, terima kasih banyak. Saya berhutang budi padamu, dan juga ini ada sedikit yang saya bawa untuk Aki. Meski jumlahnya tak seberapa, tapi tolong terimalah." Ucapku seraya mengambil kantong kresek hitam berisi uang puluhan ribu dan beberapa diantaranya terdapat uang logam hasil keringatku berjualan selama seminggu.
Namun, pemberianku langsung di tolak oleh pria tua tersebut seraya berkata,
"Aku tak membutuhkan uangmu, ambil dan bawa pulang untuk bekal kalian," Ujarnya sembari menolak kantong kresek berisi uang pemberian dariku.
"Tapi satu hal yang harus kamu penuhi," Sambungnya lagi, kali ini ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat serius.
"Apa itu, Ki?" Tanyaku menanggapi serius dengan apa yang hendak diucapkannya.
"Setiap malam jum'at kliwon, kamu harus menyediakan darah untuk putrimu. Baik itu darah haid yang masih segar, atau jika tidak memungkinkan. Berikan tumbal nyawa untuk putrimu, itu satu-satunya cara agar putrimu bisa tetap hidup!"
DEG...
Aku terperanjat, jantungku seakan tertusuk. Ujung mataku sekilas melihat Herlina yang kini tengah berdiri di sampingku pun, dia langsung tertunduk tanpa bisa berucap sepatah katapun.
"Sekarang, pulanglah ke rumah kalian. Tugasku sudah selesai." Serunya menegaskan.
Aku tak punya pilihan lain, bahkan untuk membantah, atau sekedar bertanya pun seakan tidak bisa. Akhirnya aku memutuskan segera membawa Herlina pergi dari rumah ini.
Kami berdua berpamitan tanpa berjabat tangan, pria tua itu langsung membalikan badannya. Seolah-olah tak mau kami berada di sini terlalu lama.
Setelah keluar dari rumah tersebut, baru saja beberapa langkah kami berjalan. Pandangan sekitar langsung berubah. Kami berdua sudah berada di bagian ujung hutan, tempat pertama kali aku memasuki hutan ini.
Aku mencoba menoleh kembali ke arah belakang, tiba-tiba ada angin kencang yang meniup dan menerpa tubuh kami berdua. Kami pun langsung terjatuh di tanah.
Merasa ada hal yang ganjil, seakan hutan ini tak mau menerima kehadiran manusia. Kami berdua memutuskan untuk segera bergegas meninggalkan wilayah ini. Kami mempercepat langkah kaki agar bisa segera menjauh.
Di tengah perjalanan pulang, tak henti-hentinya Herlina merangkul lengan kananku sembari berjalan. Ekspresi wajahnya seperti orang yang sangat ketakutan, aku mencium kepala putri kecilku untuk menenangkannya.
"Kamu yang tenang ya, Nak. Sekarang kamu sudah bersama Ayah." Ucapku penuh kasih sayang, lalu disambut dengan senyuman hangat dari malaikat kecilku.
***
Bersambung...
Comments
Post a Comment