PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI EPISODE LIMA
PEMBALASAN DENDAM ARWAH SANTRIWATI
PART#5
Sesampainya di rumah, aku segera berkemas-kemas. Mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal selama perjalanan menuju ke rumah seorang pria berjubah hitam, seperti yang dikatakan oleh suara tanpa wujud, saat di pemakaman Herlina tadi.
Meskipun belum memiliki petunjuk yang pasti, aku sudah membulatkan tekad untuk tetap pergi. Keinginan untuk bisa berjumpa kembali dengan Herlina, putri kesayanganku begitu besar. Hingga membuatku lupa dengan segalanya.
Bisa dikatakan, aku akan menghalalkan segala cara, agar bisa bertemu dan bersama dengan putri kecilku lagi.
Aku sadar sepenuhnya, kali ini aku benar-benar terbujuk 'rayuan setan'. Tapi aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan saat ini. Rasa rindu teramat sangat, benar-benar menguasai jiwa ini. Meski aku tahu, ini adalah dosa besar.
Pihak pesantren pun, sengaja tak kuberikan kabar soal kepergian Herlina. Ini bisa menjadi alasan kuat agar Herlina bisa kembali ke sana. Demi meluruskan semua kesalah pahaman yang berujung pada kecelakaan yang merenggut nyawa putriku.
Hari itu, di tengah teriknya sinar matahari yang menyengat tubuh. Aku akan memulai perjalananku, semoga perjalanan ini bisa membuahkan hasil, seperti yang kuharapkan.
***
Sesampainya di hutan bagian utara kota ini, ada rasa takut yang mulai masuk menguasai pikiran. Ditambah kehadiranku di sini seolah-olah 'disambut' oleh para makhluk tak kasat mata yang menghuni wilayah ini.
Jantung berdegup kian cepat, meski situasi dalam hutan yang berada tepat di depan mataku terlihat sangat tenang. Angin yang berhembus kencang seketika langsung menerpa tubuhku kala aku mulai melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam area ini.
Inikah sambutan kalian untukku?
Namun, aku tak mau terlalu menghiraukan kondisi di sekelilingku. Meski sepanjang menyusuri jalan di area hutan ini, beberapa kelebatan bayangan putih melintas di antara semak-semak belukar yang sudah meninggi.
Bahkan ujung mataku kerap kali menangkap beberapa sosok tak kasat mata, tengah menampakan diri dan berusaha mengintip dari balik pepohonan besar yang ada.
Langkah kaki semakin kupercepat, ingin rasanya sesegera mungkin untuk menemukan rumah tempat pria berjubah hitam yang di katakan suara tanpa wujud saat di pemakaman. Meskipun aku belum menemukan petunjuk lebih jelas.
Aku tetap melanjutkan perjalanan ini, tujuan tanpa arah yang jelas membuatku semakin bingung. Rasanya seperti berjalan memutar di tempat yang sama berulang kali. Ditambah dengan gangguan dari para makhluk tak kasat mata, seakan bergantian untuk membuatku putus asa selama dalam pencarian ini.
Suara-suara aneh yang muncul dari balik pepohonan dan semak belukar, terdengar saling sahut hingga terasa seakan memenuhi kepala. Aku makin tak tahan dengan kondisi ini.
Hingga akhirnya aku berlari meninggalkan tempat itu, entah ke arah mana aku berlari kali ini. Aku hanya ingin segera bergegas meninggalkan tempat ini.
Aku masuk ke dalam hutan ini lebih jauh, semakin ke dalam justru semakin terasa gelap. Sinar matahari tak mampu menembus helai-helai daun pohon yang besar, saking rimbunnya. Bahkan semak belukar yang sangat tinggi pun, aku terobos meskipun tak tahu ada apa di baliknya.
Sampai kaki ini tersandung akar pohon yang lumayan besar, tubuh terjatuh ke dalam lubang besar yang menganga. Layaknya sebuah gua bawah tanah yang sangat gelap, aku terjatuh ke dalamnya.
***
Aku membuka mataku, mencoba melihat ke sekeliling, kepala ini terasa sangat sakit. Sepertinya tadi kepalaku terbentur dengan bebatuan di lubang gua.
Mencoba bangkit, lalu duduk sementara di tempat yang dirasa sangat asing bagiku.
(Sejak kapan aku tergeletak disini?)
Di tengah kebingungan, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
"Ayo masuk sini, tidak baik jika ada tamu yang menunggu terlalu lama di depan rumahku," Ucapnya.
Seketika aku menoleh ke arah suara tersebut, dan ternyata orang yang sedari tadi aku cari sudah berdiri tepat di belakangku.
Pria tua yang mengenakan pakaian serba hitam, dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Mataku menatap penampilan pria tua dengan sangat teliti, tanpa berkedip sedikitpun. Tapi, apakah dia yang menyelamatkanku tadi?
"Ayo masuk ke dalam, saya sudah menunggumu dari tadi." Ajaknya sembari melangkahkan kaki menuju pintu rumahnya.
Aku meng-iya-kan tanpa bisa menjawab ajakannya, pikiran masih penuh dengan kebingungan, entah bagaimana ceritanya, aku bisa berada di depan rumah orang ini. Padahal sebelumnya, jelas-jelas aku terperosok ke dalam lubang yang gelap.
Sebelum masuk, aku terdiam mematung sembari memperhatikan lingkungan sekitar. Kedua mata menatap sekeliling area ini, rumah yang didiami pria tua ini terbuat dari anyaman bambu dan lebih mirip seperti rumah panggung pada zaman dahulu. Atapnya terbuat dari daun rumbia, rumah ini di kelilingi oleh pohon bambu yang tertanam begitu rapi.
"Ehhmmm,,ehmm,,ehmm" Suara dari pria tua itu membuyarkan lamunanku.
Buru-buru aku memasuki rumah itu lalu duduk tepat di hadapannya. Baru saja aku hendak mengatakan maksud kedatanganku kemari, pria tua itu menengadahkan telapak tangannya di depanku, tatapan matanya sangat serius.
"Tidak perlu, saya sudah tahu maksud kedatanganmu." Ucapnya tegas. Lagi-lagi aku tak bisa berkata-kata, hanya terdiam dan memperhatikan apa yang sedang dilakukannya.
"Jadi sedari tadi dia sudah tahu maksud kedatanganku? Sepertinya orang ini memang bukan orang sembarangan." ucapku dalam hati.
Kemudian dia merapalkan beberapa mantra, bibirnya bergerak pelan-pelan meskipun masih sempat ada sedikit suara yang keluar dari bibir keriputnya itu. Suasana di dalam ruangan kami saat ini seketika saja berubah jadi lebih mencekam, yang semula begitu tenang meski aura mistisnya tetap terasa dari awal masuk.
Beberapa detik kemudian, disusul dengan goncangan hebat yang membuatku terkejut bukan main. Semua bagian rumah ini bergetar sangat kencang, bahkan dinding anyaman bambu rumah ini pun ikut bergoyang. Lampu semprong dengan kaca corong antik, tak luput dari guncangan ini, bahkan hampir terjatuh.
Setelah beberapa menit kemudian, semua telah kembali normal. Guncangan hebat yang menggoyangkan rumah ini pun, mendadak terhenti seketika.
Aku benar-benar masih merasa ketakutan, lalu kuperhatikan sang pria tua tadi menganggukan kepalanya berkali kali, matanya dipicingkan ke sebelah kiri tempatnya duduk. Seolah-olah, dia tengah berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata yang 'mungkin' telah hadir bersama kami saat ini.
Cukup lama aku memperhatikan tingkahnya, anggukan kepalanya berkali-kali, beberapa detik dia mengangguk, kemudian dia terdiam, lalu menganggukan kepalanya lagi. Begitulah seterusnya.
Sedangkan aku, tak berani bertanya. Hanya bisa terdiam dan menunggu apa yang akan dikatakan berikutnya padaku.
Kemudian pria tua itu mengangkat kepalanya, membuka lebar kedua matanya lalu menatapku sejenak. Dia mulai angkat bicara.
"Tadi baru saja kita kedatangan tamu, anakmu yang meninggal seminggu lalu telah hadir disini. Aku sudah mendengarkan semua yang diceritakannya," Ucap pria tua itu, matanya menatap lekat ke arahku tanpa berkedip.
"Satu minggu kemudian, datanglah kembali ke sini. Untuk saat ini tak ada lagi yang bisa kau lakukan, jadi pulanglah." Sambungnya lagi.
"Lalu bagaimana caranya agar saya bisa menemukan tempat ini lagi Ki'? Sedangkan tadi saja, aku harus tersesat dan jatuh ke dalam lubang." Tanyaku penuh kebingungan.
"Bawalah ini, begitu kau memasuki area hutan ini. Kalungkan benda ini di lehermu agar kau bisa dengan mudah menemukan tempat ini nanti." Jawabnya seraya menyodorkan kain putih berbentuk kotak persegi kecil, benda itu sudah memiliki tali yang membentuk seperti kalung.
"Baiklah Ki', kalau begitu saya mohon pamit sekarang." Sahutku sembari menerima kalung pemberiannya.
Aku beranjak dari tempatku duduk, lalu melangkah keluar dari rumah ini. Sepanjang perjalanan pulang, entah mengapa kondisi sekitar terasa sangat tenang. Bahkan kelebatan bayangan dan kemunculan para mahkluk tak kasat mata yang mengintip dari balik celah pepohonan pun, seakan enggan untuk menampakan diri.
Tak butuh waktu lama, aku telah sampai di ujung hutan, tempat pertama kali aku datang memasuki hutan ini. Bathinku tertegun saat menyadari, betapa dekatnya jarak antara ujung hutan dengan rumah pria tua tersebut.
Namun, aku tak mau terlalu berlama-lama berada di wilayah ini. Aku ingin segera pulang dan tak sabar menantikan tibanya minggu depan, saat aku kembali lagi kesini.
***
Bersambung..
Comments
Post a Comment